FinJ Media – Dalam Pasal-Pasal Karet RUU KUHP, banyak kalangan menilai penerapannya menjadi UU KUHP yang rencana akan disahkan pada Kamis (15/12/2022) mendatang akan menghabisi kebebasan berpendapat dan mengancam demokrasi. Sejumlah pasal karet bisa digunakan untuk membawa publik ke dalam tindakan pidana.
“Ada materi-materi yang diperdebatkan baik di kalangan masyarakat maupun antarpartai juga, tapi sejumlah masalah sudah disepakati dan juga sudah dikoordinasikan untuk mencari temu keseimbangan antara kepentingan individual, kepentingan masyarakat, dan juga kepentingan negara,” ujar Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian.
Hal itu disampaikan seusai Tito mengikuti rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo mengenai progres Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang telah disepakati oleh DPR dan pemerintah pada rapat paripurna tingkat I kemarin Senin (28/11/2022).
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Hiariej menyampaikan bahwa DPR memberikan sejumlah masukan terkait RKUHP sebagaimana ada dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
Beberapa poin dalam DIM telah melalui proses diskusi antara pemerintah dan DPR dan telah disetujui dalam persetujuan tingkat pertama untuk dimasukkan dalam RKUHP.
“Teman-teman ICJR yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil itu aktif sekali melakukan diskusi dengan kami tim pemerintah, maupun dengan fraksi-fraksi di DPR, sehingga ada beberapa item yang kemudian kita masukkan dalam RKUHP dan kemudian itu telah disetujui dalam persetujuan tingkat pertama,” ujar Wamenkumham.
Sejumlah poin yang telah dibahas dan mengalami perubahan yaitu mulai dari hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law, pidana mati, hingga pencemaran nama baik. Terkait pidana mati, Eddy mengatakan dalam RKUHP yang baru pidana mati dijatuhkan secara alternatif dengan masa percobaan.
“Hakim tidak bisa langsung menjatuhkan pidana mati, tetapi pidana mati itu dengan percobaan 10 tahun. Jika dalam jangka waktu 10 tahun terpidana berkelakuan baik, maka pidana mati itu diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana 20 tahun,” lanjut Eddy.
Terkait dengan penghinaan terhadap pemerintah, ditambahkan pasal 240 RKUHP dengan beberapa pembatasan. Penghinaan terhadap pemerintah terbatas pada lembaga kepresidenan.
Sedangkan penghinaan terhadap lembaga negara hanya terbatas pada lembaga legislatif yaitu DPR, MPR, dan DPD, serta lembaga yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
“Baik dalam penjelasan pasal yang berkaitan dengan penyerangan harkat dan martabat Presiden, maupun penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara, kami memberikan penjelasan seketat mungkin yang membedakan antara penghinaan dan kritik,” kata Eddy.
Dalam RKUHP, pemerintah menghapus pasal terkait pencemaran nama baik dan penghinaan yang tertuang dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Eddy berharap dengan memasukkan ketentuan UU ITE dalam RKUHP disparitas putusan dapat diminimalisasi.
“Untuk tidak terjadi disparitas dan tidak ada gap maka ketentuan-ketentuan di dalam undang-undang ITE itu kami masukkan dalam RKUHP, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian, dengan sendiri mencabut ketentuan-ketentuan pidana khususnya pasal 27 dan pasal 28 yang ada dalam undang-undang ITE,” kata Eddy kembali.
Dirinya mengatakan bahwa penghinaan terhadap pemerintah dalam Pasal 240 tetap dipertahankan dengan ancaman pidana penjara paling lama 1,5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.
Edward Hiariej mengatakan draf RKUHP juga mencantumkan setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah dan menimbulkan kerusuhan maka pidananya akan makin berat, yakni 3 tahun.
“Kita tambahkan penjelasan Pasal 240 yang dimaksud dengan “pemerintah” adalah presiden RI yang memegang kekuasaan Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam UUD. Yang dimaksud “kerusuhan” adalah suatu kondisi dimana timbul kekerasan terhadap orang/barang yang dilakukan sekelompok paling sedikit tiga orang,” ujar Edward.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward O.S. Hiariej menambahkan tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah hanya dapat dituntut berdasarkan aduan dari pihak yang dihina. Aduan dapat diajukan secara tertulis oleh pimpinan lembaga negara.
Pasal penghinaan terhadap Polri dan Kejaksaan dihapus dari draf RKUHP, tetapi pasal 347 masih memuat soal aturan pidana bagi penghinaan terhadap lembaga negara seperti DPR hingga Mahkamah Agung.
“Penjelasan pasal 347 ketentuan ini dimaksudkan agar lembaga negara dihormati oleh karena itu perbuatan menghina terhadap lembaga negara dipidana berdasarkan ketentuan ini yang dimaksudkan dengan lembaga negara adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK),” ujar Edward kembali.
Pasal-Pasal Karet RUU KUHP

Hingga saat ini, RKUHP memang masih mendapatkan banyak penolakan, terutama dari masyarakat sipil. Mereka menganggap RKUHP tetap memasukkan Pasal-Pasal Karet RUU KUHP yang dapat memberangus kebebasan berpendapat dan mengancam kehidupan berdemokrasi.
Masih adanya Pasal-Pasal Karet RUU KUHP sebenarnya menunjukkan pemerintah dan DPR belum menerima input dari masyarakat. Padahal, berbagai masukan telah disampaikan masyarakat agar Pasal-Pasal Karet RUU KUHP itu tidak ada lagi.
Misalnya dari Koalisi Masyarakat Sipil dan bahkan juga surat resmi yang disampaikan oleh Dewan Pers. Elemen masyarakat telah menolak penghapusan Pasal-Pasal Karet dalam RUU KUHP yang antidemokrasi itu.
Tanpa adanya penghapusan Pasal-Pasal Karet dalam RUU KUHP itu akan menjadi persoalan krusial karena bisa menjadi alat mengancam kebebasan sipil dan membungkam demokrasi. Karenanya, penyusunan RUU KUHP bisa dikatakan masih menggunakan paradigma hukum menindas bahkan diskriminatif.
Beberapa pasal yang dinilai sebagai Pasal-Pasal Karet dalam RUU KUHP, misalnya Pasal 218 sampai Pasal 220 yang mengatur tentang berbagai tindak pidana yang bisa dianggap sebagai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden.
Selanjutnya, Pasal 349 sampai Pasal 351 yang mengatur tentang penghinaan terhadap pemerintahan yang sah, penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara, pencemaran nama baik, dan pasal ancaman pidana kepada penyelenggaraan aksi demonstrasi yang tidak didahului dengan pemberitahuan.
Maka, elemen masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP mendesak pemerintah dan DPR menunda pengesahan RUU KUHP dan menghapus Pasal-Pasal Karet dalam RUU KUHP.